Kamis, 09 April 2009

Masalah Keselamatan Pelayaran

Pendahuluan
Keselamatan pelayaran dibagi/dipecah dalam pengertian keselamatan kapal dan keselamatan navigasi. Topik keselamatan ini tidak dibatasi oleh pengertian nasional (no national boundaries) lebih dari bidang apapun dalam hukum maritim yang memang sudah jelas dipengaruhi hukum internasional yang bersumber pula pada konvensi-konvensi yang dihasilkan oleh badan-badan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa ataupun perjanjian-perjanjian yang disepakati bersama (treaty, dll); maka pengaturan mengenai keselamatan dan pengawasan ini didasarkan pada konvensi-konvensi yang dihasilkan oleh International Maritime Organization (IMO) dan International Labour Organization (ILO). Penting pula semua pembaharuan dan amandemen-amandemen konvensi-konvensi tersebut yang harus disesuaikan dalam undang-undang dan peraturan pelaksanaan nasional.
Bagian II dari Maritime Legislation Project Indonesia sepenuhnya memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut di atas, walaupun hanya merupakan prinsip-prinsip utama. Dalam Undang-Undang No. 21 tahun 1992 yang masih berlaku hingga sekarang, keselamatan pelayaran diatur dalam Bab VII pasal 35 hingga pasal 44 dan pasal 55 hingga pasal 64 (tentang pengawakan kapal). Pengaturan telah disesuaikan dengan situasi nasional waktu itu. Penyesuaian-penyesuaian dengan situasi setempat ini dapat dianggap menimbulkan kontroversi terhadap situasi pelayaran internasional. Pada waktunya akan dibahas dan diperbandingkan segmen demi segmen. MCI nanti perlu mengajukan/mengusulkan kepada Pemerintah halhal perbaikan/revisi hingga mendapatkan suatu pengaturan keselamatan pelayaran secara keseluruhan yang dapat diterima sesuai dengan standar hukum internasional. Gambarannya dapat dilihat pada tabel 1. Dalam menjalankan peluang inilah sering terjadi hal-hal yang mungkin didasarkan pada situasi dan keadaan pada waktu pengaturan diterbitkan. Dengan perubahan situasi politik dan ekonomi, maka perlu pula diadakan perubahan-perubahan dan perbaikan sesuai tuntutan keadaan. Usulan-usulan tentang inilah yang perlu direkomendasikan oleh M.C.I kelak.
Dalam kertas kerja tahapan kedua akan ditinjau pasalpasal dalam UU No. 21/1992 atau pengaturan pelaksanaan yang perlu diubah.

Undang-undang yang berlaku
Konvensi-konvensi Internasional yang relevan
Perundang-undangan yang harus ada sebagai termaktub dalam buku bagian II Maritime Legislation Project
Undang-undang no. 21 tahun 1992 dan peraturan peraturan implementasinya
1. Solas (Convention for the Safety of Life at Sea) 1974 serta Protocol 1978 dan amandemen-amandmen tahun 1981/1983. Solas tidak berlaku untuk kapal ikan karena variasi desain dan operatornya yang berbeda dengan kapal lain
2. The International Convention for The Safety of Fishing Vessels 1979
3. Load Line Convention 1966
4. The International Maritime Dangerous Goods Code
5. The International Convention for Safe Containers 1972 (CSC)
6. The International Labour Organization (ILO) Instruments atau pengaturan-pengaturan yang dikeluarkan olehnya
Di dalam bagian II ini ditetapkan suatu kerangka komprehensif tentang standar dalam hal keselamatan dan pengawasan untuk pegangan pemerintah serta hak dan kewajiban industri perkapalan. Termaktub di sini prinsip-prinsip dasar dan memberikan peluang untuk mengatur aspek teknis dalam peraturan pemerintah dan kalau perlu dengan keputusan menteri.

Tabel 1. Perbandingan perundang-undangan

Undang-Undang No. 21 Tahun 1992 Tentang Pelayaran
Peninjauan pasal-pasal dalam UU No.21/1992 yang mempunyai kemungkinan diimplementasikan sesuai situasi :
Bab VII: Perkapalan
Bagian Pertama
Judul : Kelaiklautan Kapal
Pasal 35 : Ayat (4) Pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah serta dapat dilaksanakan oleh badan hukum Indonesia yang ditunjuk oleh Pemerintah (jelas hak dan kewajiban mutlak ditangan Pemerintah).
Pasal 36 : Ayat (1) Untuk keperluan persyaratan keselamatan, kapal- kapal ukuran tertentu dapat memanfaatkan hasil pemeriksaan klasifikasi (di sini ada peluang untuk biro klasifikasi).
Ayat (2) Pengklasifikasian harus oleh badan hukum Indonesia yang ditetapkan oleh Pemerintah (wewenang tetap ada pada Pemerintah).
Pasal 38 : Pejabat Pemerintah yang berwenang diintrepretasikan sebagai syahbandar yang menimbulkan masalah status “syahbandar” dalam pelaksanaan UU tentang otonomi daerah.
Pasal 39 : Ayat (1) Berdasarkan pertimbangan kondisi geografi dan meteorologi, ditetapkan daerah pelayaran tertentu (masalah dengan pertimbangan
Pasal 42 : pasal ini membuka peluang untuk dispensasi , yang perlu ada jaminan pengertian kelaiklautan sebuah kapal.
Bagian Kedua
Judul : Peti Kemas

Peninjauan Paralel terhadap Pasal-Pasal dalam Bagian Kedua “Safety and Manning Maritime Legislation Project Indonesia”
Article 3 : Ayat (2) Undang-undang tidak berlaku untuk kapal perang atau kapal-kapal yang dimiliki ataupun dioperasikan oleh negara asing selama periode dipergunakan hanya untuk keperluan pemerintah dalam pelayaran non komersial (hal ini tidak ada dalam UU No.21/1992).
Article 4 : Exemption Paralel pasal 42 UU No.21/1992. Ditekankan dalam article 4 ini pengecualian ataupun penyimpangan dari ketentuan-ketentuan keselamatan pelayaran hanya boleh terjadi apabila tetap dipenuhi kondisi-kondisi yang diperlukan untuk keselamatan kapal, keselamatan ,kesehatan dan kesejahteraan dari awak kapal dan perlindungan hidup dan kepemilikan di laut, serta perlindungan dan kelestarian lingkungan laut (maritime environment).



Pengawakan kapal (MANNING)
1978 :International Convention on Standards of Training, Certification and Watchkeeping of Seafarers (STCW) pertama kali diterima dalam suatu konferensi yang diadakan oleh IMO.
28 April 1984 : STCW mulai berlaku. Secara singkat termaktub dalam konvensi ini persyaratan minimum untuk pelatihan, kualifikasi dan pelayanan pelayaran untuk master deck officers, engineer officers, radio officers yang harus dipenuhi sebelum suatu pemerintah dapat mengeluarkan sertifikat keahlian sesuai konvensi, juga prinsip-prinsip dasar untuk pengamatan geladak dan mesin. Suatu negara tentunya diperbolehkan untuk menetapkan standar yang lebih tinggi.
1995 : Amandemen STCW

Ruang lingkupnya semua kapal kecuali kapal perang dan di ruang lingkup angkatan laut (naval auxiliary ships), kapal milik pemerintah dalam pelayaran non komersial, kapal ikan, kapal wisata (yachts) dan kapal kayu yang dibangun dengan cara primitif.
Kelonggaran-kelonggaran tertentu terhadap persyaratanpersyaratan konvensi diperbolehkan dengan pertimbanganpertimbangan efisiensi dan fleksibilitas. Namun tingkat pelayanan pelayaran (seagoing service) harus sedemikian rupa sehingga navigational dan technical handling sebuah kapal dan muatannya harus mencapai tingkat persyaratan keselamatan yang sekurang-kurangnya sama dengan persyaratan dalam konvensi.

Pengaturan dalam Bagian II dari Maritime Legislation Project Indonesia
Mengandung seluruh prinsip-prinsip dasar sebagai suatu pengaturan framework law; yaitu pengaturan yang memberi keleluasan pengaturan teknis untuk diatur dalam Peraturan Pemerintah atau Keputusan Menteri Perhubungan.
Pengaturan mencakup implementasi konvensi-konvensi sebagai berikut:
a) Solas 1974/1978-amandemen 1981, 1983, 1986
b) Land Lines Convention
c) ILO Convention No. 68 tentang permakanan dan katering untuk awak kapal No. 92 dan No. 133 tentang akomodasi untuk awak kapal, No. 13 tentang pencegahan kecelakaan selama bertugas untuk pelaut dan No. 152 tentang keselamatan kerja dan kesehatan pekerja galangan.
d) STV Convention (fishing vessel)
e) STCW Convention.
Pengaturan dalam bagian II MLP menekankan prinsip hukum
yang penting yaitu tidak dapat dibuatnya pengaturan
implementasi oleh suatu pemerintah tanpa ada ketentuan
dasar hukum yang jelas dalam undang-undang. Kalau prinsip
tersebut di atas dilaksanakan maka dapat dijalankan suatu
policy jangka panjang terhadap keselamatan dan pengawakan,
dan pada waktu bersamaan pemerintah dapat pula mengambil
keputusan-keputusan sewaktu-waktu (day to day) sebagai
implementasi policy tersebut. Kesimpulan : harus jelas
dasar hukum yang termaktub dalam undang-undang dan tidak
boleh dikurangi.
Sistem undang-undang harus sama atau mengikuti sistem
konvensi yang bersangkutan. Sehingga penyusunan undangundang
harus sebagai berikut :
1. General provision (definisi)
2.
a) Persyaratan tentang kapal (konstruksi, peralatan
dan akomodasi)
b) Survey dan sertifikat
3. Persyaratan tentang pengawakan :
a) Pendahuluan (STCW)
b) Tingkat pengawakan (Manning Levels)
c) Sertifikat dan pemeriksaan
d) Lain-lain
e) Keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan
f) Hak dan kewajiban pemilik, master dan pelaut.
g) Tentang berlakunya undang-undang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar