Kamis, 09 April 2009

PELESTARIAN TRUMBU KARANG

PENDAHULUAN


Terumbu karang adalah salah satu ekosistem dasar laut dangkal yang mempunyai keanekagaman hayati cukup tinggi. Terumbu karang disusun oleh hermatypic coral, yaitu sejenis karang yang mampu membuat bangunan atau kerangka karang dari kalsium karbonat (CaCO3) yang sangat kuat, sehingga koloni karang tersebut mampu menahan gaya gelombang air laut. Selain hermatypic coral tersebut di atas, terdapat juga biota lain yang berperan dalam proses pembentukan terumbu karang, namun dalam skala kecil.

Kemampuan hermatypic coral dalam pembentu-kan bangunan kapur tidak terlepas dari proses hidup organisme tersebut. Hermatypic coral bersimbiose dengan algae simbion (zooxanthellae) yang tumbuh di dalam jaringan polip. Alga tersebut memegang peranan penting dalam menstimulasi produksi kapur sehingga karang dapat tumbuh dan terumbu berkembang lebih luas.

Dalam perkembangannya, alga simbion membutuh-kan sinar matahari untuk proses fotosintesis. Oleh karena itu, jenis karang tersebut umumnya hidup dan berkembang dengan baik di perairan pantai/ laut yang jernih dengan suhu 18 – 40 oC (optimal 23 – 25oC) dan salinitas 30-36‰ serta kedalaman < 50 m (optimal 25 m) dimana penetrasi cahaya matahari masih sampai ke dasar perairan. Perairan laut yang keruh karena pencemaran dan sedimentasi dari daratan, dapat menimbulkan dampak negatif terhadap pertumbuhan atau ketahanan hidup karang serta dapat mengancam kelestarian ekosistem terumbu karang.




POTENSI DAN KONDISI PERIKANAN TERUMBU KARANG SAAT INI


Terumbu karang sangat potensial dikembangkan sebagai tempat budidaya dan tempat penangkapan berbagai jenis biota perikanan seperti:
- Rumput laut;
- Spon, kerang, siput dan karang lunak;
- Udang, lobster, dan kepiting;
- Cacing laut, teripang, bulu babi, dan bintang laut;
- Ikan karang konsumsi (kerapu, ekor kuning, kakap kuning, dan kakap merah);
- Ikan karang hias (kepe-kepe, napoleon, bidadari, kakatua, botana, dan ikan giru);
- Ikan karang lain (buntal, pari, dan lepu ayam);
- Kuda laut, dan belut murai;
- Reptil (penyu sisik) dan mamalia laut (ikan duyung).

Kondisi terumbu karang Indonesia saat ini sebagian besar mengalami kerusakan. Hasil survey Program Rehabilitasi Pengelolaan Terumbu Karang (COREMAP – Coral Reef Rehabilitation and Management Program) LIPI menunjukkan bahwa terumbu karang yang benar – benar sangat baik hanya 6,49% sedangkan selebihnya dalam kondisi sangat buruk (40,62%) sedang (28,61%) dan baik (24,28%).





FUNGSI, MANFAAT & NILAI TERUMBU KARANG


1. Fungsi
 Pelindung pantai dari gelombang dan badai;
 Tempat hidup dan berkembang biak ikan karang;
 Tempat perlindungan ikan karang yang berukuran lebih kecil dari pemangsaan ikan karang lainnya;
 Penghasil bahan – bahan organik, tempat mencari makan, tempat tinggal dan penyamaran bagi komunitas ikan.

2. Manfaat
 Perikanan, baik budidaya maupun penangkapan;
 Sumber makanan;
 Bahan obat – obatan;
 Bahan baku berbagai industri;
 Pendidikan dan riset;
 Kawasan konservasi laut.

3. Nilai
 Obyek wisata bahari;
 Menghasilkan produk perikanan US$ 15.000/ tahun;
 Menghemat biaya perlindungan pantai sebesar US$ 193.000;
 Mempunyai potensi pariwisata US$ 13.000 sampai 500.000.




PENYEBAB KERUSAKAN TERUMBU KARANG


Seiring dengan perkembangan teknologi dalam usaha penangkapan ikan di laut, termasuk ikan karang menyebabkan variasi keragaman alat tangkap semakin banyak dengan teknik operasional yang berbeda – beda.
 Pengoperasian jenis alat tangkap tertentu sering didahului dengan pengeboman sehingga menyebab-kan kerusakan pada terumbu karang sebagai habitat ikan karang serta biota karang lainnya.
 Pengeboman dengan bahan peledak berbobot 0,5 kg saja dapat merusak terumbu karang hingga radius 3 m. Sementara efek pengeboman pada radius 10 m, ikan karang akan mengalami kematian. Ikan yang terkena bom ledakan hanya 40% yang mengapung dan 60% lainnya tenggelam.
 Penggunaan racun sianida sianida (potas) dan jenis lainnya dalam penangkapan ikan karang juga sebagai penghancur terumbu karang, dimana pada konsentrasi 4 ppm terumbu karang akan memutih. Inilah yang menyebabkan produksi ikan – ikan karang semakin menurun serta ikan yang tertangkap dengan meng-gunakan potas tersebut sangat berbahaya bagi kesehatan manusia.

Selain pengeboman dan peng-gunaan racun sianida, kerusakan terumbu karang juga disebabkan oleh beberapa hal yaitu sebagai berikut:
1. Gangguan Alamiah:
- Gunung Api;
- Gempa Bumi;
- Tsunami;
- Pemangsa; dan
- Perubahan iklim secara global.
2. Gangguan Manusia:
- Tangkap lebih (overfishing);
- Penambangan/ penggalian batu karang;
- Pencemaran dan Sedimentasi;
- Pariwisata/ ekoturisme; serta
- Pengerukan, pengurungan & pembangunan pantai.
UPAYA PELESTARIAN


Dengan kondisi terumbu karang seperti saat ini, menyebabkan produksi ikan dari hasil tangkapan mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Untuk mengatasi hal tersebut, maka langkah yang kita lakukan adalah turut memelihara kelestarian terumbu karang, antara lain dengan:

1. Tidak melakukan pengambilan terumbu karang dengan alasan apa pun;
2. Tidak melakukan pengeboman dan penggunaan potas ataupun jenis bahan kimia lain yang dapat mengancam kelestarian ekosistem terumbu karang;
3. Tidak menggunakan alat tangkap yang dapat merusak terumbu karang seperti trawl dan sejenisnya;
4. Tidak melakukan penangkapan ikan secara berlebihan;
5. Tidak membuang sampah dan atau limbah di laut maupun sungai yang bermuara ke laut karena hal ini dapat menimbulkan pencemaran dan penimbunan sedimen di perairan terutama ekosistem terumbu karang.

Masalah Keselamatan Pelayaran

Pendahuluan
Keselamatan pelayaran dibagi/dipecah dalam pengertian keselamatan kapal dan keselamatan navigasi. Topik keselamatan ini tidak dibatasi oleh pengertian nasional (no national boundaries) lebih dari bidang apapun dalam hukum maritim yang memang sudah jelas dipengaruhi hukum internasional yang bersumber pula pada konvensi-konvensi yang dihasilkan oleh badan-badan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa ataupun perjanjian-perjanjian yang disepakati bersama (treaty, dll); maka pengaturan mengenai keselamatan dan pengawasan ini didasarkan pada konvensi-konvensi yang dihasilkan oleh International Maritime Organization (IMO) dan International Labour Organization (ILO). Penting pula semua pembaharuan dan amandemen-amandemen konvensi-konvensi tersebut yang harus disesuaikan dalam undang-undang dan peraturan pelaksanaan nasional.
Bagian II dari Maritime Legislation Project Indonesia sepenuhnya memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut di atas, walaupun hanya merupakan prinsip-prinsip utama. Dalam Undang-Undang No. 21 tahun 1992 yang masih berlaku hingga sekarang, keselamatan pelayaran diatur dalam Bab VII pasal 35 hingga pasal 44 dan pasal 55 hingga pasal 64 (tentang pengawakan kapal). Pengaturan telah disesuaikan dengan situasi nasional waktu itu. Penyesuaian-penyesuaian dengan situasi setempat ini dapat dianggap menimbulkan kontroversi terhadap situasi pelayaran internasional. Pada waktunya akan dibahas dan diperbandingkan segmen demi segmen. MCI nanti perlu mengajukan/mengusulkan kepada Pemerintah halhal perbaikan/revisi hingga mendapatkan suatu pengaturan keselamatan pelayaran secara keseluruhan yang dapat diterima sesuai dengan standar hukum internasional. Gambarannya dapat dilihat pada tabel 1. Dalam menjalankan peluang inilah sering terjadi hal-hal yang mungkin didasarkan pada situasi dan keadaan pada waktu pengaturan diterbitkan. Dengan perubahan situasi politik dan ekonomi, maka perlu pula diadakan perubahan-perubahan dan perbaikan sesuai tuntutan keadaan. Usulan-usulan tentang inilah yang perlu direkomendasikan oleh M.C.I kelak.
Dalam kertas kerja tahapan kedua akan ditinjau pasalpasal dalam UU No. 21/1992 atau pengaturan pelaksanaan yang perlu diubah.

Undang-undang yang berlaku
Konvensi-konvensi Internasional yang relevan
Perundang-undangan yang harus ada sebagai termaktub dalam buku bagian II Maritime Legislation Project
Undang-undang no. 21 tahun 1992 dan peraturan peraturan implementasinya
1. Solas (Convention for the Safety of Life at Sea) 1974 serta Protocol 1978 dan amandemen-amandmen tahun 1981/1983. Solas tidak berlaku untuk kapal ikan karena variasi desain dan operatornya yang berbeda dengan kapal lain
2. The International Convention for The Safety of Fishing Vessels 1979
3. Load Line Convention 1966
4. The International Maritime Dangerous Goods Code
5. The International Convention for Safe Containers 1972 (CSC)
6. The International Labour Organization (ILO) Instruments atau pengaturan-pengaturan yang dikeluarkan olehnya
Di dalam bagian II ini ditetapkan suatu kerangka komprehensif tentang standar dalam hal keselamatan dan pengawasan untuk pegangan pemerintah serta hak dan kewajiban industri perkapalan. Termaktub di sini prinsip-prinsip dasar dan memberikan peluang untuk mengatur aspek teknis dalam peraturan pemerintah dan kalau perlu dengan keputusan menteri.

Tabel 1. Perbandingan perundang-undangan

Undang-Undang No. 21 Tahun 1992 Tentang Pelayaran
Peninjauan pasal-pasal dalam UU No.21/1992 yang mempunyai kemungkinan diimplementasikan sesuai situasi :
Bab VII: Perkapalan
Bagian Pertama
Judul : Kelaiklautan Kapal
Pasal 35 : Ayat (4) Pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah serta dapat dilaksanakan oleh badan hukum Indonesia yang ditunjuk oleh Pemerintah (jelas hak dan kewajiban mutlak ditangan Pemerintah).
Pasal 36 : Ayat (1) Untuk keperluan persyaratan keselamatan, kapal- kapal ukuran tertentu dapat memanfaatkan hasil pemeriksaan klasifikasi (di sini ada peluang untuk biro klasifikasi).
Ayat (2) Pengklasifikasian harus oleh badan hukum Indonesia yang ditetapkan oleh Pemerintah (wewenang tetap ada pada Pemerintah).
Pasal 38 : Pejabat Pemerintah yang berwenang diintrepretasikan sebagai syahbandar yang menimbulkan masalah status “syahbandar” dalam pelaksanaan UU tentang otonomi daerah.
Pasal 39 : Ayat (1) Berdasarkan pertimbangan kondisi geografi dan meteorologi, ditetapkan daerah pelayaran tertentu (masalah dengan pertimbangan
Pasal 42 : pasal ini membuka peluang untuk dispensasi , yang perlu ada jaminan pengertian kelaiklautan sebuah kapal.
Bagian Kedua
Judul : Peti Kemas

Peninjauan Paralel terhadap Pasal-Pasal dalam Bagian Kedua “Safety and Manning Maritime Legislation Project Indonesia”
Article 3 : Ayat (2) Undang-undang tidak berlaku untuk kapal perang atau kapal-kapal yang dimiliki ataupun dioperasikan oleh negara asing selama periode dipergunakan hanya untuk keperluan pemerintah dalam pelayaran non komersial (hal ini tidak ada dalam UU No.21/1992).
Article 4 : Exemption Paralel pasal 42 UU No.21/1992. Ditekankan dalam article 4 ini pengecualian ataupun penyimpangan dari ketentuan-ketentuan keselamatan pelayaran hanya boleh terjadi apabila tetap dipenuhi kondisi-kondisi yang diperlukan untuk keselamatan kapal, keselamatan ,kesehatan dan kesejahteraan dari awak kapal dan perlindungan hidup dan kepemilikan di laut, serta perlindungan dan kelestarian lingkungan laut (maritime environment).



Pengawakan kapal (MANNING)
1978 :International Convention on Standards of Training, Certification and Watchkeeping of Seafarers (STCW) pertama kali diterima dalam suatu konferensi yang diadakan oleh IMO.
28 April 1984 : STCW mulai berlaku. Secara singkat termaktub dalam konvensi ini persyaratan minimum untuk pelatihan, kualifikasi dan pelayanan pelayaran untuk master deck officers, engineer officers, radio officers yang harus dipenuhi sebelum suatu pemerintah dapat mengeluarkan sertifikat keahlian sesuai konvensi, juga prinsip-prinsip dasar untuk pengamatan geladak dan mesin. Suatu negara tentunya diperbolehkan untuk menetapkan standar yang lebih tinggi.
1995 : Amandemen STCW

Ruang lingkupnya semua kapal kecuali kapal perang dan di ruang lingkup angkatan laut (naval auxiliary ships), kapal milik pemerintah dalam pelayaran non komersial, kapal ikan, kapal wisata (yachts) dan kapal kayu yang dibangun dengan cara primitif.
Kelonggaran-kelonggaran tertentu terhadap persyaratanpersyaratan konvensi diperbolehkan dengan pertimbanganpertimbangan efisiensi dan fleksibilitas. Namun tingkat pelayanan pelayaran (seagoing service) harus sedemikian rupa sehingga navigational dan technical handling sebuah kapal dan muatannya harus mencapai tingkat persyaratan keselamatan yang sekurang-kurangnya sama dengan persyaratan dalam konvensi.

Pengaturan dalam Bagian II dari Maritime Legislation Project Indonesia
Mengandung seluruh prinsip-prinsip dasar sebagai suatu pengaturan framework law; yaitu pengaturan yang memberi keleluasan pengaturan teknis untuk diatur dalam Peraturan Pemerintah atau Keputusan Menteri Perhubungan.
Pengaturan mencakup implementasi konvensi-konvensi sebagai berikut:
a) Solas 1974/1978-amandemen 1981, 1983, 1986
b) Land Lines Convention
c) ILO Convention No. 68 tentang permakanan dan katering untuk awak kapal No. 92 dan No. 133 tentang akomodasi untuk awak kapal, No. 13 tentang pencegahan kecelakaan selama bertugas untuk pelaut dan No. 152 tentang keselamatan kerja dan kesehatan pekerja galangan.
d) STV Convention (fishing vessel)
e) STCW Convention.
Pengaturan dalam bagian II MLP menekankan prinsip hukum
yang penting yaitu tidak dapat dibuatnya pengaturan
implementasi oleh suatu pemerintah tanpa ada ketentuan
dasar hukum yang jelas dalam undang-undang. Kalau prinsip
tersebut di atas dilaksanakan maka dapat dijalankan suatu
policy jangka panjang terhadap keselamatan dan pengawakan,
dan pada waktu bersamaan pemerintah dapat pula mengambil
keputusan-keputusan sewaktu-waktu (day to day) sebagai
implementasi policy tersebut. Kesimpulan : harus jelas
dasar hukum yang termaktub dalam undang-undang dan tidak
boleh dikurangi.
Sistem undang-undang harus sama atau mengikuti sistem
konvensi yang bersangkutan. Sehingga penyusunan undangundang
harus sebagai berikut :
1. General provision (definisi)
2.
a) Persyaratan tentang kapal (konstruksi, peralatan
dan akomodasi)
b) Survey dan sertifikat
3. Persyaratan tentang pengawakan :
a) Pendahuluan (STCW)
b) Tingkat pengawakan (Manning Levels)
c) Sertifikat dan pemeriksaan
d) Lain-lain
e) Keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan
f) Hak dan kewajiban pemilik, master dan pelaut.
g) Tentang berlakunya undang-undang.

PEMBENIHAN UDANG GALAH

LAPORAN TOPIK PERORANGAN



Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Pendidikan di Program Studi Manajeman Agribisnis Jurusan Budidaya Perairan


Oleh :
Kelompok
NEHEMIA LEOKUNA
NIM : K4 100 614



DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
POLITEKNIK NEGERI JEMBER
2009

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
POLITEKNIK NEGERI JEMBER
PEMBENIHAN UDANG GALAH
(Macrobrachium )
Telah diuji pada tanggal….
Telah dinyatakan memenuhi syarat……..

Tim Penguji :
Ketua
Nehemia leokuna
NIP …………….





Anggota (DPA) Angota (penguji)


NEHEMIA LEOKUNA NEHEMIA LEOKUNA
NIP................................. NIP..................................





Mengesahkan : Menyetujui :


NEHEMIA LOEKUNA NEHEMIA LEOKUNA
NIP................................. NIP................................














DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang
B. Tujuan
C. II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Biologi
B. Pembenihan
C. Pendederan.
D. Pembesaran
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Instansi
B. Hasil Kegiatan PKL
1. Pembuatan Pakan Ikan
2. Analisa Proksimat
3. Uji Efisiensi Pakan
4. Pembahasan
1. Ulasan Hasil
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
B. Saran
C. DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
LAMPIRAN





DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Proses Penepungan Bahan Baku dengan Mesin Disc Mill
Gambar 2. Proses Pencampuran dengan Mixer
Gambar 3. Grafik Tingkat Pertumbuhan Ikan Uji Coba
Gambar 4. Laboratorium Uji Efisiensi Pakan








BAB 1. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Udang Galah ( Macrobrachium rosenbergii de man ) merupakan salah satu komoditas perikanan yang bernilai ekonomis tinggi. Selain mempunyai ukuran terbesar dibandingkan dengan udang air tawar lainnya juga memiliki nilai ekonomis penting karena sangat digemari konsumen baik di dalam maupun diluar negeri terutama di Jepang dan beberapa Negara Eropa. Oleh sebab itu Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan mencanangkan pada tahun 2003 udang galah menjadi salah satu andalan komoditas ekspor. Dengan demikian, permintaan pasarnya semakin meningkat, sedangkan penangkapan udang galah di alam semakin sulit, sehingga perlu dikembangkan usaha pembudidayaanya.

Prospek pengembangan budidaya udang galah diperkirakan lebih baik daripada ikan konsumsi dan jenis udang lainnya. Prediksi tersebut dilandasi oleh semakin tingginya tingkat konsumsi ikan (termasuk udang) perkapita pertahun penduduk dunia. Menurut FAO, sampai tahun 2010, pasar dunia masih kekurangan pasokan ikan (termasuk udang) sebesar 2 juta ton/tahun. Pasokan ikan sebesar itu tidak mungkin dipenuhi hanya dari hasil tangkapan alam, tetapi harus dipasok dari hasil budidaya.

Nilai tambah udang galah lainnya adalah waktu pemeliharaannya yang relative singkat, yakni 3-5 bulan dan tingkat produksinya yang tinggi, yakni 2-5 ton per hektar per siklus, tergantung dari padat tebar dan teknologi yang digunakan. Sementara itu, kelangsungan hidup udang galah mencapai 80 – 85 % atau tingkat kematiannya tidak lebih dari 20 %. ( Khairuman dan Khairul Amri, 2006 ).




Pengembangan budidaya udang galah di Indonesia meliputi semua lahan budidaya (kecuali laut), dari kolam, sawah (minapadi atau palawija) hingga tambak (air payau ). Oleh karena udang galah membutuhkan 2 media yang berbeda pada kegiatan pemijahan dan pembesarannya, maka kegiatan pembenihan dilakukan pada media air payau dan kegiatan pembesarannya dilakukan di media air tawar.

B. Tujuan
Adapun tujuan dari pelaksanaan praktik kerja lapangan ini mngenai pembenihan dan pembesaran udang galaah adalah :
1. Mahasiswa/i mampu menentukan induk udang galah yang matang gonad dan yang tidak.
2. Mahasiswa/i bisa mengetahui cara pemijahan udang galah tersebut.
3. Mahasiswa/i dapat mengetahui teknik pembenihan dan pembesaran udang galah di bak hacthery maupun ditambak.
4. Mahasiswa/i mengetahui dan mampu cara dan teknik pemanenan udang galah.



BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
A. Biologi
Udang galah termasuk famili Palamonidae dengan species Macrobrachium rosenbergii. Badan udang terdiri atas 3 bagian : kepala dan dada (cephalotorax), badan (abdomen), serta ekor (uropoda). Cephalotorax dibungkus oleh kulit keras, dibagian depan kepala terdapat tonjolan karapas yang bergerigi disebut rostrum pada bagian atas sebanyak 11 sampai 13 buah dan bagian bawah 8 sampai 14 buah. Pada udang jantan pasangan kaki jalan kedua tumbuh panjang dan cukup besar dapat mencapai 1,5 kali panjang badan, sedangkan pada betina relatif kecil.
Udang galah hidup pada 2 habitat, pada stadia larva hidup di air payau dan kembali ke air tawar pada stadia juwana hingga dewasa. Pada stadia larva perubahan metamorphose terjadi sebanyak 11 kali dan berlangsung selama 30 sampai dengan 35 hari. Udang galah bersifat omnivore, cenderung aktif pada malam hari ( Balai Budidaya Ikan Air Tawar Sukabumi, 2002).
B. Pembenihan
1. Seleksi Induk
Beberapa persyaratan induk untuk kegiatan pembenihan menurut Balai Budidaya Ikan Air Tawar Sukabumi adalah sebagai berikut :
 Ukuran induk betina diatas 40 gram dan jantan 50 gram.
 Jumlah telur cukup banyak
 Badan bersih, baik dari kotoran maupun organisme yang bersifat parasit.
 Umur induk antara 8 s/d 20 bulan.
 Memilih induk yang sudah matang telur untuk yang kedua kali dan seterusnya.
 Berasal dari udang yang pertumbuhannya cepat.


2. Pemeliharaan Induk
Induk dipelihara di kolam dengan kepadatan 4 ekor/m2, diberi pakan berupa pellet dengan kandungan protein 30 % sebanyak 5 % dari berat tubuh. Pada pemeliharaan induk ini, induk jantan dan betina sebaiknya dipelihara secara terpisah, baik dikolam maupun di bak beton dilengkapi dengan pintu pemasukkan dan pengeluaran dengan kedalaman 80 s/d 100 cm.
3. Pemijahan
Udang galah memijah sepanjang tahun, biasanya terjadi pada malam hari. Udang galah yang siap pijah dapat dilihat dari gonadnya dengan warna merah orange yang menyebar keseluruh bagian gonad sampai cephalotorax.
4. Penetasan
Setelah dilakukan pemijahan selama 21 hari, induk dipilih yang matang telur dengan warna telur abu-abu. Induk tersebut diberi perlakuan dengan larutan malachite green sebanyak 1,5 mg/l, dengan cara perendaman selama 25 menit. Bak penetasan yang digunakan berukuran (1x1x0,5) m3 dengan media air payau bersalinitas 3 s/d 5 ppt, padat penebaran induk 25 ekor per bak. Selama penetasan telur, induk diberi makanan berupa ketela rambat, singkong atau kentang dipotong-potong kecil. Hal ini untuk menghindari dampak negatif kualitas air. Pada suhu 28 s/d 300 C telur akan menetas dalam waktu 6 s/d 12 jam.
5. Pemeliharaan Larva
Pemeliharaan larva udang galah dilakukan dalam bak bulat atau “conicle tank” dari fiberglass. Hal yang perlu diperhatikan dalam pemeliharaan tersebut antara lain kualitas air dan pemberian pakan. Ukuran pakan harus disesuaikan dengan bukaan mulut larva. Pada hari ketiga setelah menetas diberi pakan naupli “Artemia” dengan frekwensi 3 jam sekali. Pada hari ke sebelas diberi pakan artemia diselingi pakan buatan sampai menjadi post larva dengan frekwensi pemberian pakan 3 jam sekali.
Pergantian air dilakukan setiap hari sebanyak 25 s/d 50% dan sebelumnya kotoran dibersihkan dengan cara disiphon. Salinitas media pemeliharaan larva dipertahankan 10 s/d 12 ppt. Setelah menjadi juwana salinitas media diturunkan secara bertahap menjadi 0 ppt kemudian juwana siap dipasarkan atau ditebar ke kolam untuk dibesarkan sampai ukuran konsumsi.
6. Penyakit
Penyakit merupakan salah satu faktor pembatas keberhasilan pembenihan udang galah. Penyakit yang biasa timbul adalah penyakit bakterial yang berasal dari air laut yaitu Vibrio sp, dengan ditandai semacam stress, fluorisensi pada larva yang mati dan terjadi kematian massal dalam waktu yang singkat. Untuk mencegah terjadinya serangan bakterian perlu adanya ”Chlorinisasi” media dan pengeringan fasilitas selama 7 hari. Jika sudah terserang, pengobatannya menggunakan antibiotik dengan dosis 11 s/d 13 ppm, dengan cara perendaman selama 3 hari.
C. Pendederan
1. Persiapan Kolam
Tempat yang lebih cocok untuk pendederan juvenil adalah kolam yang mempunyai dasar berpasir. Sebelum melakukan penearan, maka kolam harus dipersiapkan lebih dahulu yaitu meliputi pengeringan dasar kolam selama 2 – 3 hari (tergantung cuaca), perbaikan pematang serta pembuatan saluran tengah kolam atau kemalir. Sebagai tempat untuk berlindung, maka dapat dipasang “shelter” atau pelindung dari daun kelapa secukupnya. Selanjutnya kolam diisi air sampai mencapai kedalaman 0,75 – 1 m. Dua atau tiga hari setelah pengisian air, kolam sudah siap untuk ditebar juvenil.
2. Penebaran Juvenil
Penebaran juvenil sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari yaitu pada saat suhu tidak terlalu panas.
Hal ini untuk menghindarkan gangguan fisik (stress) yang diakibatkan oleh perubahan suhu yang besar secara tiba-tiba. Selain itu sebelum disebar juvenil harus diaklimatisasikan dahulu dengan air kolam tempat pendederan. Padat penebaran antaraa 35 – 50 ekor/m2 dengan berat rata-rata 0,012 – 0,016 gram/ekor.
3. Pemberian Pakan
Mengingat sampai saat ini belum tersedia pakan buatan secara khusus untuk udang galah, maka sementara ini dapat digunakan pakan buatan yang biasa diberikan untuk ikan. Jumlah yang diberikan sebanyak 10 – 15% dari berat total per hari, dalam 2 kali pemberian yaitu pada pagi dan sore hari. Kandungan protein pakan tersebut antara 20 – 30%. Oleh karena ukuran juvenil yang ditebar masih sangat kecil maka pakan harus dihancurkan dahulu dengan mesin penghancur atau dengan cara menambahkan air secukupnya. Selama pemeliharaan kondisi air dari saluran pemasukan sebaiknya dalam keadaan mengalir secara terus menerus.
4. Pemanenan
Bila pendederan sudah berumur 2 bulan, maka benih udang dapat dipanen. Untuk menghindari dari terik matahari, pemanenan sebaiknya dilakukan pada pagi hari. Selama 2 bulan periode pemeliharaan benih dapat mencapai ukuran 3 – 5 cm dengan berat 0,5 – 1,0 gram/ekor. Derajat kelangsungan hidup yang dapat dicapai dengan sistem pendederan tradisional ini sekitar 25 – 70%.

D. Pembesaran
1. Sarana dan Fasilitas
Jenis tanah yang cocok untuk pemeliharaan udang galah adalah tanah yang sedikit berlumpur dan tidak porous. Luas kolam yang digunakan dapat bervariasi antara 0,2 -1,0 Ha. Sebaiknya berbentuk empat persegi panjang dengan kedalaman kolam antara 0,5-1,0 m. dasar kolam harus rata dan dibuat kemalir (caren) secara diagonal dari saluran pemasukan sampai kesaluran pembuangan, hal ini untuk memudahkan pemanenan. Kualitas air yang masuk ke kolam harus baik dan bebas dari polusi.

2. Pengelolaan Kolam
Sebelum ditanami udang galah kolam sebaiknya dipersiapkan terlebih dahulu secara baik dengan cara :
• Kolam dikeringkan terlebih dahulu kemudian dicangkul untuk menggemburkan dan dibiarkan selama 3-5 hari
• Untuk memberantas hama dan penyakiy dasar kolam diberi kapur dengan dosis 50-100 gr/m², kapur dicampur dengan air kemudian disebarkan secara merata keseluruh permukaan dasar kolam dan dibiarkan selama 2-3 hari
• Kolam diisi air sampai mencapai kedalaman yang sudah ditentukan kemudian diberi pupuk organik berupa kotoran ayam sebanyak 500 gr/m² maksudnya untuk menumbuhkan pakan alami.

3. Teknik Pemeliharaan
Benih udang yang siap dipelihara di kolam adalah benih udang stadia juwana atau tokolan. Pemeliharaannya dapat dilakukan dengan dua cara :
a. Monokultur
Pemeliharaan secara monokultur adalah pemeliharaan udang di kolam tanpa dicampur dengan ikan lain. Padat penebaran sebanyak 5-10 ekor/m² bila pemberian pakan tidak intensif dan 20-30 ekor/m² dengan pemberian pakan secara intensif.
b. Polikurtur
Pemeliharaan secara polikurtur adalah pemeliharaan udang di kolam disatukan dengan ikan lainnya. Adapun yang dapat dibudidayakan dengan udang adalah ikan mola, ikan tawes, ikan nilem, dan ikan “big head”. Padat penebaran ikan 5-10 ekor/m² ukuran 5-8 cm. selama pemeliharaan dapat dilakukan pemupukan susus=lan setiap 2-3 minggu berupa urea 3-5 kg dan TSP 5-10 kg/Ha kolam.
4. Pemberian Pakan
Selain makanan alami selama pemeliharaan udang galah perlu dibarikan pakan tambahan berupa pelet udang dengan kadar protein 25-30 % karena makanan alami yang tersedia tergantung pada tingkat kesuburan perairan kolam. Pada pemeliharaan secara monokultur jumlah pakan tambahan yang diberikan mulai 20 % menurun sampai 5 % dari berat badan total populasi, dengan frekuensi pemberian 4-5 kali sehari, sedangkan pada pemeliharaan secara polikultur jumlah pakan tambahan yang diberikan mulai 6 % menurun sampai 3 % dari berat badan total populasi dengan frekuensi pemberian 4-5 kali sehari.

5. Pemanenan
Pemanenan udang galah dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu :
a. Panen total
Panen total dilakukan dengan cara mengeringkan kolam secara total, sehingga produksi total dapat segera diketahui. Kerugian system ini adalah udang yang masih kecil ikut dipanen serta membuang air yang telah kaya dengan organisme dan mineral.
b. Panen selektif
Panen selektif dilakukan dengan menggunakan jaring tanpa harus mengeringkan kolam, yang tertangkap hanya udang ukuran tertentu saja. Pemanenan selanjutnya tergantung kepada tingkat pertumbuhan udang. Kerugian system ini adalah banyak membutuhkan tenaga dan bila ada ikan predator tidak dapat dibersihkan dari kolam.

6. Predator dan Penyakit
a. Predator
Predator pada pemeliharaan udang galah dikolam adalah beberapa jenis ikan seperti catfish (lele lokal) dan Snakehead, burung dan ular. Kepiting merupakan pengganggu juga karena hewan tersebut melubangi pematang kolam. Untuk mencegah masuknya hewan predator, pada saluran pemasukan air dipasang saringan dan disekeliling pematang dipasang net setinggi 60 cm.
b. Penyakit
Penyakit yang banyak menyerang udang galah adalah “Black spot” yaitu penyakit yang diakibatkan oleh bakteri dan kemudian diikuti oleh timbulnya jamur, penyakit ini dapat mengakibatkan kematian dan menurunnya mutu udang. Untuk pencegahan penyakit yang diakibatkan oleh bakteri. Ini digunakan obat antibacterial yang diberikan secara oral melalui pakan.

7. Kualitas Air
Timbulnya penyakit pada udang biasanya disebabkan oleh kualitas air pada kolam kurang baik. Hal ini biasanya diakibatkan oleh padat penebaran yang terlalu banyak, rendahnya kandungan oksigen, pengaruh suhu serta tingginya derajat keasaman (pH) sehingga dapat menimbulkan banyak kematian. Air yang dipakai dalam pembesaran udang galah di kolam sebaiknya bebas dari polusi dengan kandungan oksigen lebih dari 7 ml/l, suhu optimum 27-30ÂșC, derajat keasaman (pH) 7,0-8,5 dan kesadahan total antara 40-150 mg/l.



BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Instansi
Balai Pengembangan Budidaya Perikanan Laut, Air Payau dan Udang (BPBPLAPU) Karawang merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) di Lingkungan Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat.
BPBPLAPU Karawang berdiri pada tahun 1975 dengan nama Unit Pembinaan Budidaya Air Payau (UPBAP), kemudian berubah menjadi Balai Pengembangan Budidaya Air Payau (BPBAP) pada tahun 1998. Berdasarkan Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Barat Nomor 821.2/SK.860 G/Peg/2002 tanggal 2 Juli 2002 tentang alih tugas/alih jabatan di lingkungan Dinas Perikanan Propinsi Jawa Barat, maka UPBAP berubah menjadi Balai Pengembangan Budidaya Perikanan Laut , Air Payau dan Udang (BPBPLAPU) dengan status eselon III.
Sebagai salah satu lembaga pengkajian, penerapan, dan pengembangan teknologi perikanan ikan laut dan air payau, maka BPBPLAPU Karawang memiliki Tugas Pokok dan Fungsi yang telah ditetapkan melalui Surat Keputusan Gubernur Propinsi Jawa Barat nomor 45 tahun 2002 tentang tugas pokok, fungsi dan rincian tugas Unit Pelaksana Teknis Dinas di Lingkungan Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat yaitu melaksanakan sebagian fungsi dinas di bidang pengembangan budidaya perikanan laut dan air payau.
Balai Pengembangan Budidaya Perikanan Laut, Air Payau dan Udang (BPBPLAPU) terletak di Jl. Raya Cipucuk No. 13-15, Dusun Sukamulya, Desa Pusakajaya Utara, Kecamatan Pedes , Kabupaten Karawang dengan ketinggian 1-2 meter diatas permukaan laut (dpl) pada surut rata-rata terendah. Instansi ini memiliki luas lahan 15 ha dengan rincian 12 ha merupakan lahan pertambakan dan 3 ha adalah lahan untuk perumahan dan perkantoran.



B. Hasil
Hasil yang diperoleh selama mahasiswa/i melaksanakan praktek di Balai Pengembangan dan Budidaya Perikanan Laut, Air Payau dan Udang (BPBPLAPU) tentang kegiatan budidaya udang galah (Macrobranchium rosenbergii) adalah sebagai berikut :
1. Pengelolaan Induk
• Pengadaan Induk
Induk yang digunakan oleh BPBPLAPU dalam kegiatan pembenihan berasal dari hasil kegiatan pembesaran.
• Seleksi Induk
Perbedaan :
- Jantan
 Bentuk tubuh bagian perut lebih ramping dan ukuran pleuronnya lebih pendek
 Letak kelamin terdapat dibaris pasangan kaki jalan kelima
 Bentuk dan ukuran kaki jalan ke dua sangat mencolok, yakni besar dan panjang mirip galah
- Betina
 Bagian tubuh tumbuh melebar dan pleuronnya agak memanjang
 Alat kelamin terdapat pada baris pasangan kaki jalan ketiga
 Pasangan kaki jalan ke dua lebih kecil dan tidak mencolok
• Pemeliharaan Induk
 Wadah : bak beton berbentuk persegi panjang berukuran 4 x 2,5 x 2 meter 3
 Ketinggian air : 30 cm
 Kadar salinitas : 12 ‰
 Pakan menggunakan : pellet dan kentang
2. Pemijahan
 Wadah pemijahan : bak beton persegi panjang, berukuran 4 x 2,5 x 2 meter 3
 Ketinggian air : 30 cm
 Kadar salinitas : 12 ‰
 Pakan menggunakan : pellet dan kentang
 Perbandingan induk : jantan dan betina (1 : 3 dan 2 : 5)

3. Penetasan Telur
 Wadah : bak beton yang berbentuk bulat
 Ukuran bak : tinggi 1 m, diameter 1
 Tinggi air : 30 cm
 Padat tebar induk : 9 ekor/bak
 Jumlah larva yang dihasilkan : 44.000 ekor/6 bak

4. Pemeliharaan Larva
 Wadah : bak beton berbentuk bulat
 Ukuran bak : tinggi 1 m, diameter 1
 Tinggi air : 60 cm
 Volume media pemeliharaan : 471 liter
 Kepadatan larva : 93 ekor/liter
 Pakan larva : naupli artemia

5. Pembesaran
• Wadah : Tambak berbentuk persegi panjang
• Luas Tambak : 0,25 ha
• Sistem pemeliharaan : polikultur dengan bandeng
• Sumber benih : Hatcheri di daerah Pengandaran, Ciamis.
Proses yang dilakukan selama kegiatan pembesaran adalah sebagai berikut :






a. Persiapan Tambak
Persiapan kolam pemeliharaan udang galah meliputi :
- Pengeringan kolam
- Perbaikan pematang, pengelolaan tanah dasar kolam dan pembuatan kamalir
- Pengapuran kolam yang bertujuan untuk sanitasi kolam dengan dosis 10-25 gram/m2
- Pemupukan sebanyak 100-250 grm/m2 dapat dilakukan bila udang hanya diberi sedikit makanan tambahan, tetapi bial makanan tambahan penuh diberikan, pemupukan kolam tidak perlu dilakukan
- Untuk mencegah hewan liar, pada saluran pemasukan dipasang saringan
- Penebaran benih dilakukan setelah 5-7 hari pengisian air kolam.
b. Penebaran Benih
Benih udang galah yang ditebarkan sebaiknya berukuran tokolan sup[aya lebih tahan dibandingan juvenil. Padat penebaran berumur 1-2 bulan, dengan masa pemeliharaan 3-5 bulan.
c. Makanan dan pemberian pakan
Selama pemeliharaan, udan galah di beri makanan tambahan berupa pellet ( 25% protein), dengan jumlah pakan sebanyak 5% dari berat total biomasa populasi udang bperhari. Frekuensi pemberiannya adalah 2 hari per hari, yaitu pada sore hari dan malam hari, karena pada waktu itu biasanya udang lebih aktif.
Untuk menentukan jumlah berat populasi udang yang ada yaitu dengan cara mengambil sedikit udang untuk sampel yang kemudian kita bisa mengetahui berat rata-ratanya. Berat rata-rata tadi dikalikan dengan jumlah udang yangdi perkirakan ada dalam kolam untuk mendapatkan jumlah berat seluruhnya. Jumlah pemberian (5%) per hari harus disesuaikan setiap 2 minggu sekali. Apabila semua dalam keadaan baik, untuk pertumbuhan udang kita bisa mengharapkan mortalitas hanya ± 5% per bulannya. Dengan demikian dapat diperkirakan jumlah udang yang dapat dipanen dengan mengurangi 5% tiap bulannya.
Makanan buatan dalam bentuk pellet dapat dipasaran, dapat pula dibuat sendiri dengan mencampurkan semua bahan yang diperlukan dan menghancurkannya dengan mesin penggiling.
d. Pemanenan
Setelah masa pemeliharaan 3-5 bulan udang dapat dipanen. Pada saat panen total ukuran udang bervariasi beratnya yaitu : 20-100 gram per ekor. Sistem pemanenan dapat juga dilakukan secara bertahap dimana hanya dipilih ukuran konsumsi (ukuran pasar). Pada tahap pertama dilakukan setelah dua bulan masa pemeliharaan (dari ukuran tokolan) dengan menggunakan jaring dan setiap bulan berikutnya. Produksi udang galah dapat mencapai 2-4 ton per ha. Teknik memanen yang paling murah adalah dengan mengeringakan kolam baik sebagian maupun menyeluruh. Biasanya apabila akan memanen seluruh udang maka kolam dikeringkan sama sekali, tetapi kalau akan memanen sebagian saja maka hanya sebagian air yang dibuang. Pada saat pemanenan sebaiknya dimasukkan air segar kedalam kolam melalui saluran air masuk. Selain itu panenan sebaiknya dilakukan pada pagi hari dimana temperatur masih rendah. Air segar perlu dialirkan kedalam kolam untuk mencegah agar udang tidak mati kepanasan. Air dibuang melalui pusat saluran pembuangan dalam kolam sehingga semua udang akan mmengumpul didalam bak penangkap ataupun dalam saluran, kemudian ditangkap dengan menggunakan jaring kecil (serok). Setelah itu dimasukkan kedalam ember yang diisi es atau dalam kemasan ytang telah disiapkan dan dikirim kepasaran. Apabila dipanen seluruhnya maka kolam harus dikeringakan dan disiapkan lagi untuk pemeliharaan berikutnya.


e. Penanganan pasca panen
Udang yang telah dipanen, kemudian ditampung dalam waring yang dipasang pada tambak lain. Waring yang dipasang berjumlah 2 buah, hal ini untuk memudahkan dalam proses grading dan sortasi. Udang yang berukuran besar dan kecil, dipisahkan dalam waring yang berbeda. Pengangkutan udang dilakukan menggunakan wadah berupa box ( ice box ) dan udang disusun secara berlapis dengan es.




C. Pembahasan
Selama mahasiwa melaksanakan kegiatan praktek di Balai Pengembangan Budidaya Perikanan Laut, Air Payau dan Udang adalah sebagai berikut :
1. Kegiatan Seleksi Induk
Induk udang galah yang digunakan untuk kegiatan pembenihan berasal dari hasil kegiatan pembesaran yang berlangsung di tambak. Kegiatan seleksi ini dilakukan bersamaan dengan kegiatan pemanenan, yaitu pada saat penyortiran. Udang – udang yang sesuai dengan kriteria calon induk yang baik, kemudian dipisahkan. Dalam melakukan seleksi induk, kriteria yang diguanakan adalah sebagai berikut :
Jantan :
• Ukuran relatif besar yaitu bobot > 50 gram
• Organ lengkap
• Gerakan lincah
• Tidak cacat
Betina :
• Bobot minimal 40 gram
• Organ lengkap
• Gerakan lincah
• Tidak cacat
• Matang gonad ditandai dengan warna gonad yang cerah

2. Pemeliharaan Induk
Calon induk udang galah yang telah diseleksi kemudian dipelihara di dalam bak dengan tujuan untuk proses adaptasi dan proses pematangan gonad. Kegiatan pemeliharaan induk di BPBPLAPU dilakukan pada bak berbentuk persegi panjang berukuran 4 x 2,5 x 2 meter3 , dengan ketinggian air 30 cm. Bak dilengkapi selang aerasi dan shelter yang terbuat dari pipa PVC berukuran 3 inch. Tujuan penggunaan shelter ini adalah untuk tempat persembunyian. Sesuai dengan literatur, pemeliharaan induk jantan harus dipisahkan, akan tetapi di BPBPLAPU kegiatan pemeliharaan induk jantan dan betina disatukan.
3. Pemijahan
Sistem pemijahan yang dilakukan di BPBPLAPU merupakan pemijahan secara massal dan dilakukan pada 1 bak, yaitu bak pemeliharaan larva. Dengan demikian, ketika akan kegiatan pemijahan tidak dapat terkontrol dengan baik. Perbandingan jumlah induk jantan dan betina yang dipisahkan adalah 1 : 3 dan 2 : 5. Hal ini sesuai dengan sifat induk jantan yang dapat mampu membuahi induk betina lebih dari satu ekor. Selama kegiatan pemijahan, induk diberi pakan berupa kentang dengan tujuan untuk mencukupi nutrisi yang dibutuhkan oleh induk.
4. Penetasan Telur
Setelah waktu pemijahan berlangsung selama 21 hari, maka dilakukan seleksi induk-induk yang sedang mengerami telurnya. Induk-induk yang sedang mengerami telurnya kemudian dipisahkan ke dalam bak penetasan. Induk-induk dipisahkan berdasarkan warna telurnya, telur yang berwarna kuning cerah menunjukan bahwa telur tersebut berada pada awal pengeraman. Semakin gelap warna telur, yaitu abu-abu menandakan telur yang sudah siap menetas. Padat tebar induk pada bak penetasan adalah 9 ekor untuk bak bulat berdiameter 1 m, tinggi bak 1m, dan tinggi air 30 cm.
5. Pemeliharaan Larva
Setelah proses pengeraman, telur yang warnanya sudah gelap akan menetas dalam waktu 6 – 12 jam. Ketika terjadi proses penetasan, maka akan terlihat larva udang berenang di kolom air. Larva yang sudah menetas tidak langsung diambil, akan tetapi dibiarkan selama beberapa hari. Larva dapat dipindahkan kedalam bak pemeliharaan larva setelah berumur 3 – 4 hari. Proses pemindahan dilakukan dengan cara menyerok larva menggunakan seser halus secara perlahan-lahan. Proses pemeliharaan larva dilakukan pada bak berukuran sama dengan bak penetasan induk yaitu bak bulat berdiameter 1 m, tinggi 1m dan kedalaman air 60 cm. Air yang digunakan untuk kegiatan pemeliharaan memiliki salinitas 12 ppt dengan suhu yang dijaga agar tetap stabil. Bak pemeliharaan dilengkapi dengan selang aerasi dan heater.
Pakan yang diberikan kepada larva selama proses pemeliharaan adalah naupli artemia. Dosis kepadatan naupli artemia tidak ditentukan dan pemberiannya dilakukan secara perkiraan.
6. Pendederan
Kegiatan pembenihan udang galah yang dilakukan di BPBPLAPU masih tergolong kegiatan uji coba, sehingga belum sampai dalam proses pendederan.
7. Pembesaran
Kegiatan pembesaran udang galah di BPBPLAPU dilakukan dalam tambak. Tambak yang digunakan adalah tambak dengan konstruksi tanah dan salinitas air tambak sangat kecil, yaitu 2-3 ppt. Air yang digunakan untuk mengair tambak berasal dari sumur bor yang disedot menggunakan pompa. Sebelum tambak digunakan untuk kegiatan






BAB 5. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Setelah mahasiswa melaksanakan kegiatan praktek di Balai Pengembangan Budidaya Perikanan Laut, Air Payau dan Udang, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Mahasiswa mengetahui kegiatan budidaya udang galah dari tahap pembenihan sampai pembesaran.
2. Kegiatan budidaya udang galah yang dilakukan di BPBPLAPU lebih ditekankan pada kegiatan pembesaran di tambak, dan kegiatan pembenihan masih terbatas pada kegiatan uji coba.
3. Sistem pembenihan udang galah dilakukan secara massal yaitu pada bak pemijahan yang diisi beberapa pasang induk jantan dan betina dengan perbandingan 1 : 3 atau 2 : 5.
4. Sistem pemeliharaan udang di tambak dilakukan secara polikultur dengan ikan bandeng

B. Saran
Saran yang dapat disampaikan setelah mahasiswa melaksanakan praktek di BPBPLAPU adalah sebagai berikut :
1. Kegiatan pembenihan udang galah sebaiknya dilakukan secara terkontrol dengan cara memisahkan antara bak pemeliharaan dengan bak pemijahan, dengan demikian akan diketahui induk yang siap memijah dengan induk yang belum siap untuk dipijahkan.
2. Untuk mempelajari kegiatan budidaya udang galah memerlukan waktu yang lebih lama, sehingga untuk kegiatan praktek berikutnya sebaiknya alokasi waktu untuk praktek ditambah.

PEMBESARAN UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei)

KATA PENGANTAR


Dengan mengucap puji dan syukur pada Dzat yang Maha Rahman dan Rahim, karena berkat hidayah dan inayah-Nya, bahan-bahan laporan hasil kegiatan praktik lapangan di Balai Pengembangan Budidaya Perikanan Laut, Air Payau dan Udang dapat kami selesaikan.

Dalam menyusun bahan-bahan ini, kami menyadari masih terdapat kekurangan, tiada lain karena keterbatasan kemampuan yang kami miliki. Oleh karena itu, mohon maaf yang sebesar-besarnya, mudah-mudahan Tuhan SWT mengampuni segala kekhilafan kita semua.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada para dosen yang telah memberikan materi pada masa perkuliahan berlangsung yang manfaatnya bisa diaflikasikan dalam kegiatan praktik ini. Dan pada kesempatan ini pula, kami mengucapkan terimaksih kepada :

1. Bapak Khoroni, Spi. Msi. selaku Kepala Departemen Perikanan Budidaya PPPPTK/P3G Pertanian dan penanggung jawab bidang peminatan akuakultur program Diploma IV Guru Kejuruan Pertanian.
2. Bapak Dede Suhendar selaku kepala BPBPLAPU Karawang yang telah menerima kami untuk melakukan praktik lapangan.
3. Bapak Yusuf selaku Kepala Tata Usaha yang selalu memberikan arahan dan dukungannya.
4. Bapak Adang Solihin selaku pembimbing lapangan dalam bidang budidaya Udang Vanamei, udang windu dan bandeng.
5. Bapak Eddy Supriady selaku pembimbing lapangan dalam bidang budidaya rumput laut.
6. Bapak Iwan Riswan selaku pembimbing lapangan dalam bidang budidaya udang galah.
7. bapak Eddy Sutrisno selaku pendamping dari Diploma Vedca Cianjur dalam praktik lapangan di BPBPLAPU.
8. Para staf dan teknisi BPBPLAPU yang telah memberikan arahannya dan memberikan sedikit pengalamamnya dilapangan dalam masa praktik berlangsung.
9. Seluruh keluarga yang selalu memberikan dukungan motivasi dan do’a.
10. Serta semua pihak yang telah membantu sehingga terlaksananya kegiatan magang serta terciptanya laporan ini.

Penulis menyadari dengan sepenuh hati, bahwa dalam penyusunan laporan ini masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, besar harapan penulis menerima saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca guna kesempurnaan dalam pembuatan laporan selanjutnya.
Akhir kata Penulis sangat mengharapkan laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca umumnya serta Penulis sendiri khusunya.


Cianjur, Desember 2008


Kelompok 2


















DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR …………………………………………………
DAFTAR ISI ……………………………………………………………
DAFTAR TABEL ………………………………………………………
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………

BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …………………………………………...............
B. Tujuan ……………………………………………………..............

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
A. Taksonomi Udang Vaname ………..............................................
B. Morfologi …………………………………………………………
1. Kepala (Thorax) …………………………….…………………
2. Perut (Abdomen) ……………………………………………...
C. Moulting ……………………………………………………….....
1. Proses Moulting ……………………………………………….
2. Faktor-Faktor Moulting ……………………………………….
3. Kegagalan Moulting dan Pencegahannya ……………………..
D. Tingkah Laku Makan ……………………………………………
E. Pigmentasi ………………………………………………………..

BAB 3. METODOLOGI
A. Waktu dan Tempat ……………………………………………..
B. Metode Praktek Pembesaran …………………………………..
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi …………………………....................
1. Latar Belakang ……………………………………….............
2. Lokasi ……………………………………..............................
3. Sumber Daya Alam …………………………….....................
B. Hasil …………………………………….....................................
C. Pembahasan ………………………………………………........
1. Persiapan Lahan .......................................................................
2. Pemilihan Benur ......................................................................
3. Penebaran Benur ......................................................................
4. Pemberian Pakan .....................................................................
5.Sampling ..................................................................................
6. Pemberantasan Hama Penyakit ................................................
7. Pengelolaan Kualitas Air ..........................................................
8. Pemanenan dan Penanganan Hasil ..........................................

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ………………………………..................................
B. Saran ……………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN


DAFTAR TABEL


Tabel
1. Fase Moulting Udang Vaname Dewasa
2. Interval Moulting dan Penambahan Bobot Badan
3. Tabel Pemberian Pakan (Blind Feeding)
4. Jenis Hama Tambak Udang Vaname menurut Golongannya
5. Jenis dan Cara Pencegahan/Penanggulangan Hama



DAFTAR GAMBAR


Gambar
1. Udang Vaname
2. Bagian Kepala (Thorax)
3. Bagian Perut (Abdomen)
4. Pengangkatan Lumpur
5. Pengeringan Dasar Tambak
6. Proses Penebaran dan Pembakaran Jerami
7. Pemasangan Kincir Air
8. Pemasangan Jembatan Anco
9. Prosedur Aklimatisasi Benur
10. Pemanenan dengan Jala
11. Pemanenan dengan Sudu
















BAB 1. PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Akuakultur merupakan sektor yang cukup produktif saat ini dan terus berkembang, dan produktivitasnya mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan pangan manusia. Komoditas akuakultur yang menjanjikan saat ini adalah udang vaname (Litopeneaus vannamei). Udang vaname memiliki beberapa nama, seperti whiteleg shrimp (Inggris), crevette pattes blances (Perancis), dan camaron patiblanco (Spanyol).

Udang vaname ini berasal dari perairan Amerika dan mulai masuk ke Indonesia pada tahun 2001. Sampai saat ini komoditas ini sudah menyebar ke seluruh wilayah Indonesia dan dikembangkan oleh para petani dan pemerintah melalui suatu balai penelitian mengenai bagaimana cara budidaya tentang udang vannamei.

Permintaan udang jenis ini sangat besar baik pasar lokal maupun internasional, karena memiliki keunggulan nilai gizi yang sangat tinggi serta memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi menyebabkan pesatnya budidaya udang vaname.

Salah satu dari balai yang melakukan kegiatan budidaya udang vaname dalam usaha pembesaran adalah Balai Pengembangan Budidaya Perikanan Laut Air Payau dan Udang (BPBPLAPU) Karawang. Balai ini tidak melakukan pembenihan udang vaname karena masih belum didukung oleh sarana dan prasarana untuk pembenihan, terutama untuk bangunan hatchery masih dalam tahap perencanaan dan tahap pembangunan. Oleh karena itu, balai ini hanya melakukan kegiatan pembesaran udang vaname saja yang dilakukan pada sebuah tambak. Proses pembesaran udang vannamei yang dilakukan di Balai Pengembangan Budidaya Perikanan Laut Air Payau dan Udang (BPBPLAPU) Karawang, pada mulanya tidak seperti yang diharapkan. Akan tetapi, setelah dilakukan terus menerus pada akhirnya jenis udang vaname ini dapat diadaptasikan dan dibesarkan menjadi lebih baik dan berhasil.

B. Tujuan
Adapun tujuan dari kegiatan praktikum tentang pembesaran udang vannamei di Balai Pengembangan Budidaya Perikanan Laut Air Payau dan Udang (BPBPLAPU), diantaranya sebagai berikut :

1. Mendapatkan pengetahuan dan keterampilan dalam melaksanakan pembesaran udang vaname secara sistematis.
2. Mengetahui sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam kegiatan pembesaran udang vaname serta hal lain yang berkaitan erat dengan kegiatan pembesaran.
3. Meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan penalaran dalam berbagai aspek teknik usaha pembesaran udang vaname.
4. Mampu menerapkan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama perkuliahan dengan mengaplikasikannya ditempat praktek lapangan (turut aktif dalam proses pembesaran udang vaname).




BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA


A. Taksonomi Udang Vaname
Udang vaname digolongkan ke dalam genus Penaeid pada filum Arthropoda. Ada ribuan spesies di filum ini. Namun, yang mendominasi perairan berasal dari subfilum Crustacea. Ciri-ciri subfilum Crustacea yaitu memiliki 3 pasang kaki berjalan yang berfungsi untuk mencapit, terutama dari ordo Decapoda, seperti Litopenaeus chinensis, L. indicus, L. japonicus, L. monodon, L. stylirostris, dan Litopenaeus vannamei.

Berikut tata nama udang vaname menurut ilmu taksonomi.

Kingdom : Animalia
Subkingdom : Metazoa
Filum : Arthropoda
Subfilum : Crustacea
Kelas : Malacostraca
Subkelas : Eumalacostraca
Superordo : Eucarida
Ordo : Decapoda
Subordo : Dendrobrachiata
Famili : Penaeidae Gambar 1. Udang Vaname
Genus : Litopenaeus
Spesies : Litopenaeus vannamei


B. Morfologi
Tubuh udang vaname dibentuk oleh dua cabang (biramous), yaitu exopodite dan endopodite. Vaname memiliki tubuh berbuku-buku dan aktivitas berganti kulit luar atau eksoskeleton secara periodik (moulting). Bagian tubuh udang vaname sudah mengalami modifikasi sehingga dapat digunakan untuk keperluan sebagai berikut .
1) Makan, bergerak, dan membenamkan diri ke dalam lumpur (burrowing).
2) Menopang insang karena struktur insang udang mirip bulu unggas.
3) Organ sensor, seperti pada antena dan antenula.

1. Kepala (thorax)
Kepala udang vaname terdiri dari antena, antenula, mandibula, dan 2 pasang maxillae. Kepala udang vaname juga dilengkapi dengan 3 pasang maxilliped dan 5 pasang kaki berjalan (periopoda) atau kaki sepuluh (decapoda). Maxilliped sudah mengalami modifikasi dan berfungsi sebagai organ untuk makan. Endopodite kaki berjalan menempel pada chepalothorax yang dihubungkan oleh coxa. Bentuk perioda beruas-ruas yang berujung di bagian dactylus. Dactylus ada yang berbentuk capit (kaki ke-1, ke-2, dan ke-3) dan tanpa capit (kaki ke-4 dan ke-5). Di antara coxa dan dactylus, terdapat ruang yang berturut-turut disebut basis, ischium, merus, carpus, dan cropus. Pada bagian ischium terdapat duri yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi beberapa spesies Pennaeid dalam taksonomi.


Gambar 2. Bagian Kepala (Thorax)

2. Perut (abdomen)
Abdomen terdiri dari 6 ruas. Pada bagian abdomen terdapat 5 pasang kaki renang dan sepasang uropods (mirip ekor) yang membentuk kipas bersama-sama telson.


Gambar 3. Bagian Perut (Abdomen)

C. Moulting
Genus Pennaeid mengalami pergantian kulit (moulting) secara periodik untuk tumbuh, termasuk udang vaname. Proses moulting berlangsung dalam 5 tahap yang bersifat kompleks, yaitu postmoulting awal, postmoulting lanjutan, intermoult, persiapan moulting (premoult), dan moulting (ecdysis) (Tabel 1). Proses moulting diakhiri dengan pelepasan kulit luar dari tubuh udang. Proses moulting sangat menentukan waktu ablasi (pengangkatan) induk udang di hatchery dan waktu panen yang tepat.

Tabel 1. Fase Moulting Udang Vaname Dewasa
Fase Lama Ciri-ciri
Postmoulting awal 6 – 9 jam
 Kulit luar licin, lunak, dan membentuk semacam membran yang tipis dan transparan.
 Udang berada did asar tambak dan diam.
 Lapisan kulit luar hanya terdiri dari epikutikula dan eksokutikula.
 Endoskutikula belum terbentuk.
Postmoulting lanjutan 1- 1,5 hari
 Epidermis mulai mensekresi endoskutikula.
 Kulit luar, mulut, dan bagian tubuh lain tampak mulai mengeras.
 Udang mulai mau makan.
Intermoult 4 – 5 hari
 Kulit luar mengeras permanen.
 Udang sangat aktiv dan nafsu makan kembali normal.
Persiapan (Moulting Premoult) 8 – 10 hari
 Kulit luar lama mulai memisah dengan lapisan epidermis dan terbentuk kulit luar baru, yaitu epitelkutikula dan eksokutikula baru dibawah lapisan kulit luar yang lama.
 Sel-sel epidermis membesar.
 Pada tahap akhir, kulit luar mengembang seiring peningkatan volume cairan tubuh udang (haemolymp) karena menyerap air.
Moulting ( ecdysis) 30 – 40 detik
 Terjadi pelepasan atau ganti kulit luar dan tubuh udang.
 Kulit udang yang lepas disebut exuviae.

1. Proses Moulting
Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan moulting tergantung jenis dan umur udang. Saat udang masih kecil (fase tebar atau PL 12), proses moulting terjadi setiap hari. Dengan bertambahnya umur, siklus moulting semakin lama, antara 7 – 20 hari sekali.

Nafsu makan udang mulai menurun pada 1 – 2 hari sebelum moulting dan aktivitas makannya berhenti total sesaat akan moulting. Persiapan yang dilakukan udang vaname sebelum mengalami moulting yaitu dengan menyimpan cadangan makanan berupa lemak di dalam kelenjar pencernaan (hepatopankreas).

Umumnya, moulting berlangsung pada malam hari. Bila akan moulting, udang vaname sering muncul ke permukaan air sambil meloncat-loncat. Gerakan ini bertujuan membantu melonggarkan kulit luar udang dari tubuhnya. Pada saat moulting berlangsung, otot perut melentur, kepala membengkak, dan kulit luar bagian perut melunak. Dengan sekali hentakan, kulit luar udang terlepas.

Gerakan tersebut merupakan salah satu cara mempertahankan diri karena cairan moulting (semacam lendir) yang dihasilkan dapat merangsang udang lain untuk mendekat dan memangsa (kanibalisme). Udang vaname akan tampak lemas dan berbaring di dasar perairan selama 3 – 4 jam setelah proses moulting selesai.

2. Faktor – faktor Moulting
Moulting akan terjadi secara teratur pada udang yang sehat. Bobot badan udang akan berambah setiap kali mengalami moulting (Tabel 2). Faktor-faktor yang mempengaruhi moulting massal yaitu kondisi lingkungan, kejala pasang, dan terjadi penurunan volume air atau surut.

Tabel 2. Interval Moulting dan Penambahan Bobot Badan
Bobot (gr) Moulting (hari)
2 – 5 7 – 8
6 – 9 8 – 9
10 - 15 9 – 12
16 – 22 12 – 13
23 – 40 14 - 16
Sumber : Chanratcakool, 1995

a. Air pasang dan surut
Air pasang yang disebabkan oleh bulan purnama bisa merangsang proses moulting pada udang vaname. Hal ini terutama banyak terjadi pada udang vaname yang dipelihara di tambak tradisional. Di alam, moulting biasanya terjadi berbarengan dengan saat bulan purnama. Saat itu, air laut mengalami pasang tertinggi sehingga perubahan lingkungan tersebut sudah cukup merangsang udang untuk melakukan moulting. Oleh karena itu, di tambak tradisional tampak jelas karena air di tambak hanya mengandalkan pergantian air dari pasang surut air laut. Penambahan volume air pada saat bulan purnama dapat menyebabkan udang melakukan moulting.
Penurunan volume air tambak saat persiapan panen juga dapat menyebabkan moulting. Moulting sebelum panen bisa menyebabkan persentase udang yang lembek (soft shell) meningkat.

b. Kondisi lingkungan
Proses moulting akan dipercepat bila kondisi lingkungan mengalami perubahan. Namun demikian, perubahan lingkungan secara drastis dan disengaja justru akan menimbulkan trauma pada udang. Beberapa tindakan tersebut diantaranya terlalu sering mengganti air tambak, tidak hati-hati saat menyipon (membersihkan tambak), dan pemberian saponin yang berlebihan.

3. Kegagalan Moulting dan Pencegahannya
Proses moulting dapat berjalan tidak sempurna atau gagal bila kondisi fisioligis udang tidak normal. Kegagalan tersebut menyebabkan udang menjadi lemah karena tidak mempunyai cukup energi untuk melepas kulit lama menjadi kulit baru. Udang yang tidak melakukan moulting dalam waktu lama menunjukkan gejala kulit luar ditumbuhi lumut dan protozoa. Usaha pencegahan kegagalan bisa dilakukan dengan beberapa cara, seperti lebih sering mengganti air tambak.

D. Tingkah Laku Makan
Udang termasuk golongan omnivora atau pemakan segala. Beberapa sumber pakan udang antara lain udang kecil (rebon), phytoplankton, copepoda, polyhaeta, larva kerang, dan lumut.

Udang vaname mencari dan mengidentifikasi pakan menggunakan sinyal kimiawi berupa getaran dengan bantuan organ sensor yan terdiri dari bulu-bulu halus (setae). Organ sensor ini terpusat pada ujung anterior antenula, bagian mulut, capit, antena, dan maxilliped. Dengan bantuan sinyal kimiawi yang ditangkap, udang akan merespon untuk mendekati atau menjauhi sumber pakan. Bila pakan mengandung senyawa organik, seperti protein, asam amino, dan asam lemak maka udang akan merespon dengan cara mendekati sumber pakan tersebut.

Untuk mendekati sumber pakan, udang akan berenang menggunakan kaki jalan yang memiliki capit. Pakan langsung dijepit menggunakan capit kaki jalan, kemudian dimasukkan kedalam mulut. Selanjutnya, pakan yang berukuran kecil masuk kedalam kerongkongan dan oesophagus. Bila pakan yang dikonsumsi berukuran lebih besar, akan dicerna secara kimiawi terlebih dahulu oleh maxilliped di dalam mulut.

E. Pigmentasi
Pigmentasi atau perubahan warna kulit berhubungan dengan kesehatan udang. Warna kulit juga bisa digunakan sebagai acuan kualitas udang yang akan dipanen, seperti nilai gizi, kesegaran dan rasa. Warna udang dipengaruhi chromatophore yang terdapat pada sel-sel epidermis di dalam tubuh. Pigmen utama pada udang vannamei yaitu karotenoid yang dominan terdapat di eksoskeleton. Kadar karotenoid semakin berkurang seiring pertumbuhan udang akibat proses moulting. Namun demikian, kehilangan pigmen pada udang yang dibudidayakan dapat diganti dengan sumber karotenoid yang berasal dari pakan alam atau pakan pabrik.

Karotenoid udang menimbulkan warna merah, kehijauan, kecokelatan, dan kebiruan. Warna-warna tersebut dipengaruhi oleh lingkungan budidaya. Udang yang dibudidayakan dalam dengan tingkat kecarahan yang sangat tinggi dalam waktu yang lama akan berwarna kusam. Sebaliknya, udang yang dipelihara dalam air yang banyak mengandung lumut usus (enteromorpha) akan berwarna kehijauan. Kekurangan karotenoid pada udang vannamei bisa menyebabkab eksoskeleton tampak kusam dan pudar.

Beberapa penelitian menunjukan bahwa karotenoid merupakan provitamin A yang membentuk jaringan epidermis dan mukosa sehingga udang lebih tahan terhadap serangan bakteri dan jamur. Selain itu, karotenoid juga berfungsi untuk menjaga permeabilitas membran sel dan meningkatkan daya tahan tubuh (imunologi).




BAB 3.METODOLOGI


A. Waktu dan Tempat
Hari/ tanggal : 18 - 29 November 2008
Waktu : 08.00 WIB s/d selesai
Tempat : Tambak Udang Vannamei di Balai Pengembangan
Budidaya Laut Air Payau dan Udang (BPBPLAPU)
Karawang

B. Metode Praktek Pembesaran
Pelaksanaan Praktek Kerja Lapangan ini dilakukan dengan metode :
1. Mendapatkan informasi tentang fasilitas pembesaran udang vaname yang meliputi sarana utama dan sarana pendukung.
2. Melakukan dan mengikuti proses produksi dari kegiatan pembesaran udang vaname yang meliputi pemeliharaan induk, pemijahan induk, penetasan telur, pemeliharaan larva dan kultur pakan alami.
3. Melakukan wawancara untuk memahami metode praktis dalam kegiatan pembesaran udang vaname.












BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Gambaran Umum Lokasi
1. Latar Belakang
Balai Pengembangan Budidaya Perikanan Laut, Air Payau dan Udang (BPBPLAPU) Karawang merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) di Lingkungan Dinas Perikanan Propinsi Jawa Barat.

BPBPLAPU Karawang berdiri pada tahun 1975 dengan nama Unit Pembinaan Budidaya Air Payau (UPBAP), kemudian berubah menjadi Balai Pengembangan Budidaya Air Payau (BPBAP) pada tahun 1998. Berdasarkan Keputusan Gubernur Propinsi Jawa Barat Nomor 821.2/SK.860 G/Peg/2002 tanggal 2 Juli 2002 tentang alih tugas/alih jabatan di lingkungan Sinas Perikanan Propinsi Jawa Barat, Maka UPBAP berubah manjadi Balai Pengembangan Budidaya Perikanan Laut, Air Payau dan Udang ( BPBPLAPU ) dengan status Eselon III.

Sebagai salah satu lembaga pengkajian, penerapan dan pengembangan teknologi perikanan ikan laut dan air payau, maka BPBPLAPU Karawang memiliki Tugas Pokok dan Fungsi (TUPOKSI) yang telah ditetapkan melalui Surat Keputusan Gubernur Propinsi Jawa Barat nomor 45 tahun 2002 tentang tugas pokok, fungsi dan rincian tugas Unit Pelaksana Teknis Dinas di Lingkungan Dinas Perikanan Propinsi Jawa Barat yaitu melaksanakan sebagian fungsi dinas di bidang pengembangan budidaya perikanan laut dan air payau.

2. Lokasi
Balai Pengembangan Budidaya Perikanan Laut, Air Payau dan Udang (BPBPLAPU) terletak di jl. Raya cipucuk No.13 – 15, Dusun Sukamulya, Desa Pusaka Jaya Utara Kecamatan Pedes, Kabupatan Karawang dengan ketinggian 1 – 2 m diatas permukaan laut (dpl) pada surut rata – rata terendah.

3. Sumber Daya Alam
Dari awal pembentuknnya, instansi ini bernama Unit Pembinaan Budidaya Air Payau (UPBAP) mempunyai lahan dengan luas 15 ha denga rincian 12 ha merupakan lahan pertambakan, sedangkan 3 ha lainnya merupakan lahan perumahan dan perkantoran.

B. Hasil
Hasil yang didapatkan dalam kegiatan Pembesaran Udang Vaname (Litopeneaus vannamei) selama melakukan kegiatan praktik di Balai Pengembangan Budidaya Perikanan Laut, Air Payau dan Udang (BPBPLAPU) Karawang sejak tanggal 18 November – 29 November 2008 adalah sebagai berikut.

Kegiatan yang dilakukan dalam Pembesaran Udang Vaname (Litopeneaus vannamei) :
1. Persiapan lahan.
2. Pemilihan benur.
3. Penebaran benur.
4. Pemberian pakan.
5. Sampling.
6. Pemberantasan hama penyakit.
7. Pengelolaan kualitas air.
8. Pemanenan dan penanganan hasil.

C. Pembahasan
Adapun pembahasan dari hasil praktikum pembesaran udang vannamei (Litopenaeus vannamei) di Balai Pengembangan Budidaya Perikanan Laut Air Payau dan Udang (BPBPLAPU), diantaranya sebagai berikut :
1. Persiapan Lahan
Persiapan lahan merupakan awal dari kegiatan pembesaran yang bertujuan agar produksi atau budidaya berjalan dengan baik. Persiapan lahan dilakukan dalam beberapa tahapan yaitu pengangkutan lumpur, pengeringan, pembakaran jerami, pemasangan kincir, pemasangan jembatan anco, pengisian air.

Persiapan lahan yang kurang baik, akan meningkatkan resiko kegagalan produksi udang, karena siklus pathogen dalam tambak tidak terputus secara sempurna. Berikut ini merupakan tahapan – tahapan persiapan tambak di Balai Pengembangan Budidaya Perikanan Laut Air Payau dan Udang (BPBPLAPU), diantaranya sebagai berikut :

a. Pengangkutan Lumpur
Lumpur yang terdapat pada petakan merupakan limbah yang berasal dari pakan yang tersisa dan kotoran udang pada produksi terdahulu, biasanya lumpur mengumpul ditengah petakan hal ini disebabkan karena pengadukan oleh kincir.


Gambar 4. Pengangkatan Lumpur

Pengangkutan lumpur dilakukan setelah beberapa hari setelah panen agar lumpur tidak terlalu basah. Pengangkutan lumpur dilakukan dalam kondisi tanah kering total, terbelah-belah sehingga pada saat pengangkutan tidak sulit. Biasanya pengangkutan lumpur dilakukan bergantung pada kondisi alam dan target produksi, ada kalanya pengangkutan masih dalam keadaan standar untuk mengejar target produksi. Pada proses pengangkutan lumpur ini juga dilakukan pembenahan tanggul dan pematang agar tanggul dan pematang dalam kondisi baik saat digunakan dalam produksi.

Pengangkatan lumpur dilakukan dengan cara membolak-balikan tanah dasar tambak secara manual dengan menggunakan cangkul dimana tanah tersebut digunakan untuk pembenahan tanggul. Pengangkatan lumpur ini dilakukan pada tambak yang sudah lama beroperasi dan sudah banyak mengandung bahan organik, dari sisa pakan yang terbuang dan hasil feses udang.

b. Pengeringan
Pengeringan adalah pengeluaran air dari tambak hingga kandungan air tanah tambak mencapai 20 – 50%. Pengeringan dilakukan selama 10 hari atau sampai tanah terlihat retak-retak atau bergantung pada musim. Pengeringan bertujuan untuk memutus siklus hidup pathogen dengan cara menghambat sistem tranmisinya, menguapkan gas-gas beracun seperti H2S, dan membantu mikroba melakukan penguraian bahan organik.


Gambar 5. Pengeringan Dasar Tambak

c. Pembakaran Jerami
Tambak yang sudah kering, selanjutnya dilakukan penebaran jerami di seluruh dasar dan pinggir tambak secara merata. Setelah penebaran dilakukan sampai menutupi seluruh permukaan tambak, jerami tersebut dibakar sampai menjadi abu. Tujuan dari pembakaran jerami tersebut adalah agar bakteri-bakteri di dalam tambak ini mati, sehingga tidak ada bibit penyakit yang akan menyebabkan udang menjadi sakit. Perlu kita ketahui bahwa bakteri tidak dapat hidup pada suhu yang tinggi di atas 100 0C. Maka dari pada itu hal yang paling tepat untuk mengatasi bakteri adalah dengan cara pembakaran jerami.

Hasil dari pembakaran jerami tersebut akan menghasilkan abu yang dapat bermanfaat menjadi pupuk untuk kesuburan tanah dan juga membunuh hama-hama yang berada di sekeliling tambak.





Gambar 6. Proses Penebaran dan Pembakaran Jerami

d. Pemasangan Kincir
Pemasangan kincir dilakukan setelah pembakaran jerami. Jumlah kincir dalam 1 petak tambak dengan luas 4.600 m2 yaitu sebanyak 7 unit. Pengoperasian kincir dilakukan secara bergantian, yaitu 4 kincir selama 12 jam dan 3 kincir selama 12 jam juga. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kerusakan pada kincir tersebut.

Penggunaan kincir ditambak bertujuan untuk mensuplai kebutuhan udang akan oksigen terlarut (dissolved oksygen) dalam tambak. Perbandingan jumlah kincir yang akan digunakan dengan jumlah benur yang akan ditebar adalah 1 unit : 50.000 ekor.


Gambar 7. Pemasangan Kincir Air

e. Persiapan Tambak
Sebelum kegiatan pengolahan dasar tambak dilakukan hal pertama yaitu dilakukan pemasangan jembatan anco agar memudahkan dalam pemberian pakan dan pada waktu sampling.


Gambar 8. Pemasangan Jembatan Ancho

Setelah persiapan tambak selesai dan pembakaran jerami sudah sempurna, maka diisi air setinggi 10 cm agar kotoran-kotoran yang ada dalam tambak dapat terangkat dan dapat diserok. Lalu naikkan lagi ketinggian air sampai 30 cm. Setelah itu, pemberian probiotik Thiobacillus sp. sebanyak 5 liter dan bakteri Bacillus sp. sebanyak 20 liter yang diencerkan dalam 100 liter air. Setelah terbuat larutan probiotik lalu disebarkan secara merata ke dalam tambak. Agar penyebaran probiotik dapat merata ke seluruh tambak, maka digunakan kincir air.

Ketinggian air dalam tambak yaitu setinggi 60 cm, maka ketinggian air yang tadinya setinggi 30 cm ditambahkan. Air yang akan digunakan untuk media kelangsungan hidup udang di tambak, adalah air yang berasal dari laut yang sudah melalui petakan tandon. Fungsi utama dari tandon adalah untuk mengendapkan bahan-bahan organik sehingga dapat memperbaiki kualitas. Pemasukan air pertama kali dilakukan pada petak penampungan/ tandon 1 yang dialirkan dengan menggunakan pompa submersible 6”. Dimana pada petakan tandon pertama terdapat pohon bakau atau mangrove, yang berfungsi sebagai biofilter. Air dari tandon 1 dialirkan lagi ke tandon 2 melalui pipa saluran air, dimana pada tandon ini juga terdapat rumput laut (Glacilaria), dan ikan nila merah sebagai biofilter salah satunya untuk menyerap NH3, ¬¬dan sebagai suplai oksigen terlarut (Dissolved Oxygen). Kemudian air dari tandon 2 dilanjutkan ke tandon 3 melalui pipa paralon dimana pada pada saluran ini di pasang membran yang berfungsi sebagai alat pemecah DNA yang berasal dari alam. Alat ini mampu memecahkan DNA dari positif menjadi negatif. Air dari tandin 3 inilah yang yang akan dialirkan ke petak – petak pemeliharaan.

Petakan tambak yang akan ditebari benur harus bebas dari hama agar tingkat kelangsungan hidup udang dapat dicapai seoptimal mungkin (minimal 70%). Untuk itu, air tambak perlu disucihamakan dengan menggunakan pestisida organik yaitu samponin sebanyak 30 ppm kemudian air diaduk dengan pengoperasian kincir.





2. Pemilihan Benur
Persyaratan kualitatif benur yang dapat dilihat dan diuji adalah :
 Warna : warna tubuh transparan, kecoklatan atau kehitaman, punggung tidak berwarna keputihan atau kemerahan.
 Gerakan : gerakan berenang aktif, menentang arus, cenderung mendekat ke arah cahaya (fototaksis positif).
 Kesehatan dan kondisi tubuh : kondisi tubuh benur yang sehat setelah mencapai ukuran PL 10, organ tubuhnya lengkap, maxilla, mandibula, antenulla dan ekor membuka, hepatopankreas transparan, usus penuh dan gelap.
 Responsif terhadap rangsangan : benur akan menjentik menjauh dengan adanya kejutan atau jika wadah sampel benur diketuk, dan akan berenang mendekati sumber cahaya jika ada rangsangan cahaya, serta responsif terhadap pakan yang diberikan.

3. Penebaran Benur
Penebaran benur akan dilaksanakan pada pagi hari pukul 06.00 – 09.00 dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Benur akan mendapat lingkungan media penebaran yang kadar oksigen (DO)nya semakin membaik, penebaran sore hari akan sebaliknya yaitu akan menurunkan kadar oksigen terlarut dalam air tambak;
- Pengamatan terhadap benur yang baru disebarkan akan lebih mudah dilaksanakan.

Untuk mencegah tingginya tingkat kematian (mortalitas) benur pada saat dan setelah penebaran, dilakukan aklimatisasi terlebih dahulu terhadap benur yang akan ditebar, baik aklimatisasi salinitas, suhu, maupun pH. Padat penebaran benur udang vaname yaitu 50 – 75 ekor/m2. Benur yang digunakan berasal dari Pangandaran.

Adapun prosedur kerja yang harus dilakukan untuk melakukan penebaran benih dengan cara aklimatisasi, diantaranya sebagai berikut :
 Lakukan penebaran pada pagi hari mulai pukul 05.00 WIB
 Apungkan kantong plastik benur dalam kondisi benur dalam kondisi tertutup ± 30 menit di dalam tambak
 Pasang pembatas (tali, bambu) di salah satu sudut tmbak agar kantong plastik tidak berhamburan
 Buka ikatan kantong plastik
 Ukur suhu, pH, serta kadar garam dari air media benur dan juga air media tambak
 Perbedaan salinitas tidak boleh lebih dari 5 ppt, suhu tidak boleh lebih dari 2 0C, dan pH tidak boleh lebih dari 0,5
 Masukan air tambak sedikit demi sedikit hingga perbedaan suhu, salinitas, dan pH tidak terlalu jauh dan relatif sama
 Masukan kantong plastik ke dalam baskom sebanyak 5 kantong untuk setiap baskom yang telah diberi lubang di dasar dan di bagian samping, amati benur yang telah ditebar kedalam tambak. Apakah benur merata ke semua areal tambak atau masih mengumpul di satu tempat
 Lalukan penghitungan sampling udang untuk mengetahui berapa jumlah udang yang ditanam setelah dikurangi kematian
 Padat penebaran udang vannamei adalah 50-75 ekor/ m2.
























Gambar 9. Prosedur Aklimatisasi Benur




4. Pemberian pakan
Berdasarkan spesifikasi teknologi yang akan diterapkan yaitu intensif, maka penyediaan pakan berasal dari pakan tambahan yang telah diolah dalam bentuk Fine crumble dan pellet. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan maupun skala laboratorium, pakan udang komersial di Indonesia mengandung protein minimal 30%. Lingkungan budidaya yang dikelola dengan baik sangat dinamis dan mampu menyediakan pakan alami bagi udang dalam tambak.

Pemberian pakan yang diberikan yaitu mempunyai nilai Feeding rate (FR) yaitu 3% dari total biomassa dan pemberian pakan dilakukan secara bertingkat tergantung dari umur udang. Frekuensi pemberian pakan yaitu 4 – 5 kali sehari yag dimulai pada hari pertama dengan dosis disesuaikan dengan ABW dan populasi udang selama pemeliharaan.

Tabel 3. Tabel Pemberian Pakan (Blind Feeding)
Umur Pakan (kg)
1-5 2
6-10 4
11-15 6
16-20 8
21-25 10
26-30 12
31-40 14

Program pemberian pakan tersebut bersifat fleksibel, dimana jumlah pakan dapat berubah – ubah tergantung pada tingkat nafsu makan udang. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat nafsu makan udang adalah: (1) kondisi tanah dasar tambak; (2) kualitas air; dan (3) tingkat kesehatan udang. Secara praktis, tingkat nafsu makan udang dapat diketahui dengan pengontrolan anco yang dilakukan setiap 1 dan 2 jam setelah pemberian pakan.


5. Sampling
Kegiatan sampling pertama akan dilakukan pada saat udang mencapai umur 40 hari pemeliharaan di tambak. Sedangkan sampling berikutnya dilakukan 10 hari sekali dari sampling sebelumnya. Adapun maksud dilakukan sampling adalah untuk mengetahui kepadatan (populasi) udang, laju pertumbuhan, dan sekaligus sebagai dasar dalam menetapkan jumlah yang dibutuhkan oleh udang selama pemeliharaan.

Sampling dilakukan mengunakan jala tebar (Felling gear) seluas 4 m2 sebanyak 6 titik. Udang yang tertangkap segera dihitung dan ditimbang untuk menggetahui kepadatan dan berat rata – rata. Setelah itu, udang hasil sampling dikembalikan ke tambak pemeliharaan.

6. Pemberantasan Hama Penyakit
Hama yang bisaa ditemukan di tambak udang Vanname terdiri dari 3 (tiga) golongan, yaitu: pemangsa (predator), penyaing (kompetitor), dan pengganggu (lihat Tabel 4).

Hama merupakan salah satu faktor yang dapat mengganggu dan bahkan dapat mengancam kehidupan udang Vanname. Untuk itu, hama tersebut harus diantisipasi sedini mungkin agar tingginya mortalitas udang Vanname yang disebabkan oleh hama dapat ditekan serendah mungkin. Pencegahan dan penanggulangan hama dapat dilakukan dengan cara tertentu, tergantung pada jenis hama yang menjadi sasaran.

Tabel 4. Jenis Hama Tambak Udang Vanname menurut Golongannya
Golongan
Jenis Hama Spesifikasi
Predator:
a. Ikan


b. Ketam
c. Ular dan Belut

d. Burung


e. Manusia
Kakap (Lates calcalifer), Payus (Elops hawaiensis), Kuro (Polynemus sp), Kerong – kerong (Therapon sp), dan Keting (Arius maculates).
Kepiting bakau (Scylla serrata), ketam bulu (Sesarma sp).
Ular kadut (Cereberus rhynchops), dan Belut (Synbranchus bengalensis).
Blekok (Ardeola ralloides speciosa), Cangak (Ardea cinerea rectirostis), Pecuk Gagakan (Phalocrocorax carbo sinensis), dan Pecuk Ulo (Anhinga rufa melanogaster)
Pencuri.
Kompetitor:
a. Ikan Liar

b. Siput
c. Udang Liar
d. Ketam
Mujair (Tilapia mossambica), Belanak (Mugil sp), Pernet (Aplocheilus javanicus), Rekrek (Ambasis gynocephalus).
Trisipan (Cerithidea alata; C. quadrata; C. djadjariensis).
Udang api, jerbung, mentil, putih, peletok.
Ketam (Saesarina sp).
Pengganggu:
a. Udang Liar

b. Ketam
c. Penggerek
d. Siput
e. Manusia
Udang tanah (Thalassina anomala), Udang Kerongkong/ Pletok (Thalassina scorpionoides).
Ketam Bulu (Saesarina sp)
Remis (Teredo navalis)
Tritip (Balanus sp), Tiram (Classatrea sp)
Perusak


Tabel 5. Jenis dan Cara Pencegahan/Penanggulangan Hama
No. Jenis Hama Cara Pencegahan/ Penanggulangan
1.
2.
3.
4.
5. . Ikan Liar
Udang Liar
Ketam – ketaman
Siput dan Penggerek

Burung dan Manusia Pemberian pestisida organik (saponin).
Pemasangan saringan pada pintu pemasukan dan pengeluaran air secara ketat.
Pemasangan pagar plastik di sekeliling tambak.
Pemberian pestisida anorganik (Brestan 60 WP).
Memperketat penjagaan/pengotrolan.

Jenis penyakit yang sering ditemukan menyerang udang Vanname di tambak akhir – akhir ini adalah Bacterial White Spot Syndrome (BWSS), Taura Syndrome Virus (TSV), Fouling Disease (FD), Black Gill Disease (BGD), dan Infectious Hypodermal Hematopoeitic Necrosis Virus (IHHNV). Beberapa kasus membuktikan bahwa penyakit tersebut belum dapat ditanggulangi secara efektif sehingga tindakan yang tepat dapat dilakukan adalah preventif (pencegahan), seperti:
- Manajemen kualitas air secara teratur dan kontinyu;
- Monitoring dan pengelolaan tanah dasar tambak secara intensif;
- Ketepatan dalam pemberian pakan, baik jumlah, waktu, frekuensi jenis, ukuran, maupun kualitas pakan;
- Kepadatan penebaran benur dibatasi berdasarkan spesifikasi teknologi yang diterapkan; dan
- Mendeteksi adanya gejala serangan pathogen baik secara fisik (manual) maupun dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) di laboratorium secara teratur.

7. Pengelolaan kualitas air
Selama proses pemeliharaan dilakukan pengelolaan kualitas air untuk mencegah dan mengatasi adanya penurunan kualitas air. Jenis kegiatan yang dilakukan tergantung pada hasil monitoring. Monitoring kualitas air dilakukan 3 kali setiap sehari, yaitu pagi, siang, dan sore hari. Adapun kualitas air yang dimonitor meliputi salinitas, suhu, pH. Kecerahan, warna, kadar oksigen terlarut (DO), jenis plankton, dsb.

8. Pemanenan dan penanganan hasil
Pemanenana akan dilakukan setelah udang mencapai umur 120 hari pemeliharaan di tambak atau disesuaikan dengan laju pertumbuhan udang. Apbila berat rata – rata (ABW) telah mencapai standard permintaan pasar (30 ekor/kg) maka panen dapat dilaksanakan walaupun masa pemeliharaan belum mencapai 120 hari. Proses pemanenan akan dimulai pada malam hari sampai dini hari untuk mencegah hal – hal yang tidak diinginkan. Petak tambak yang akan dipanen dikuras airnya terlebih dahulu mengunakan pintu pengeluaran dan pompa submersible 6”. Setelah air tambak mencapai 50% dari volume semula maka udang segera ditangkap menggunakan jala lempar (felling gear) dan sudu. Kemudian udang ditampung ke dalam wadah yang telah disiapkan sebelumnya.


Gambar 10. Pemanenan dengan Jala


Gambar 11. Pemanenan dengan Sudu
Sejalan dengan penangkapan udang menggunakan jala lempar dan sudu, pengurasan air tambak terus dilakukan sampai tambak menjadi kering. Setelah itu, sisa udang yang masih dalam tambak segera dikumpulkan menggunakan tangan kosong (ngegogo). Udang hasil panen langsung dicuci dengan air bersih kemudian direndam dalam wadah tertentu (fibreglass) yang telah diisi dengan air es. Setelah itu, udang disortir (dikelompokkan berdasarkan ukuran) kemudian ditimbang dan dipasarkan.




BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari hasil kegiatan praktikum pembesaran udang vannamei (Litopenaes vannamei) di Balai Pengembangan Budidaya Perikanan Laut Air Payau dan Udang (BPBPLAPU), diantaranya sebagai berikut :
1. Kegitan pembesaran Udang Vaname meliputi :
a. Persiapan tambak.
b. Pemilihan benih.
c. Penebaran benih.
d. Sampling udang vaname di tambak.
e. Monitoring kesehatan.
f. Pemberian pakan.
g. Monitoring lingkungan.
h. Panen dan pasca panen.
2. Pembesaran udang vaname dapat dilakukan pada tambak yang intensif, semi intensif, maupun tambak tradisional.
3. Pada pembesaran udang vannamei secara intensif memiliki padat penebaran yang cukup tinggi yaitu 50-75 ekor/ m2, jumlah kincir yang digunakan lebih banyak dari tambak tradisional (7 buah), pemberian pakan yang digunakan cukup banyak dan lebih banyak dari pakan buatan, serta pengelolaan kualitas air yang intensif dibandingkan dengan pembesaran udang vannamei secara semi intensif dan tradisional.

B. Saran
Adapun saran yang dapat direkomendasikan dalam kegiatan praktikum pembesaran udang vannamei diantaranya sebagai berikut :
1. Pada kegiatan praktikum tentang pembesaran udang Vannamei di Balai Pengembangan Budidaya perikanan Laut air Payau dan Udang (BPBPLAPU), kurang efektif dikarenakan waktu yang digunakan untuk kegiatan praktikum sangat singkat, untuk itu maka diperlukan tambahan waktu agar diperoleh ilmu pengetahuan, dan keterampilan yang lebih banyak.
2. Minimnya informasi yang didapat agar dapat disampaikan secara jelas dan lengkap.
3. Untuk mempermudah proses pemanenan, sebaiknya dasar tambak dibuat dengan model gravitasi atau dasar lebih menjorok ke arah pintu pengeluaran air agar penggunaan pompa air tidak terlalu boros.
























DAFTAR PUSTAKA


 Haliman, Rubiyanto. W dan Dian Adijaya. 2006. Udang Vannamei. Jakarta : Penebar Swadaya.
 Kanna, Iskandar. 2004. Petunjuk Teknis Budidaya Udang Vaname Sistem Resirkulasi Semi Tertutup. Karawang : BPBPLAPU.
 Supriady, Eddy. 2008. Kupas Tuntas Balai Pengembangan Budidaya Perikanan Laut, Air Payau, dan Udang Karawang. Karawang : BPBPLAPU.
 Standar Prosedur Operasional (SPO) Budidaya Udang Vannamei di Tambak BPBPLAPU Karawang. 2008.
 Standar Prosedur Operasional Pembesaran Udang Vannamei. 2007. Departemen Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya.